Dr. Muhamad Munawar, SpJP, PhD

Berbincang dengan kardiolog yang berpengetahuan luas ini sangat menyenangkan. Ditemui di sela-sela kesibukannya dalam menangani pasien penyakit jantung di Binawaluya Cardiac Center, Dr. Muhamad Munawar, SpJP, PhD., menuturkan pengalamannya sebagai kardiolog. Keramahannya membuat suasana perbincangan menjadi santai dan hangat, namun tetap informatif. Saat mengetahui bahwa yang mewawancarai beliau adalah MEDIKA, spontan beliau menceritakan pengalamannya saat membuat penelitian pertama.

Perbincangan mengalir ke masa 32 tahun silam, saat beliau baru lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 1976, dan membaktikan diri di Puskesmas Kecamatan Lingga, Riau. Saat itu, Munawar muda banyak memanfaatkan waktunya untuk membaca buku yang memang menjadi hobinya. Saat menjadi dokter Puskesmas inilah beliau membuat penelitian mengenai filariasis dengan judul “Pengalaman Pengobatan Massal Filariasis dengan Dietil Karbamazine Sitras di Desa Budus, Kecamatan Lingga, Kepulauan Riau”. Penelitiannya ini lalu dimuat di Jurnal MEDIKA pada 1980.

Kegemarannya membaca buku untuk mendalami ilmu, menjadikannya memahami hal-hal yang saat itu masih minim di daerah, misalnya EKG (elektrokardiografi). Maklumlah, pada era 80-an, apalagi di daerah, EKG merupakan alat diagnostik yang tergolong “mewah”, karena hanya tersedia di rumah sakit umum. Selain belajar tentang EKG, untuk kepentingan penelitian beliau juga mendalami metodologi penelitian dari beberapa buku ajar penelitian. Beberapa penelitian ilmiahnya telah banyak dipublikasikan di jurnal kedokteran manca negara. Keinginannya mendalami kardiologi lebih dikarenakan pada saat itu masih sedikit pusat pendidikan kedokteran di Indonesia yang memberikan pendidikan spesialisasi jantung.

Selepas pendidikan spesialisasi kardiologi pada 1989, dokter yang pernah mendapat penghargaan sebagai dokter teladan nasional ini ditempatkan di RS Harapan Kita. Beliau kemudian mendalami masalah aritmia serta melanjutkan pelatihan mengenai elektrofisiologi dan pacemaker di Australia selama 1,5 tahun. Saat ini beliau menjabat Kepala Divisi Elektrofisiologi dan Pacujantung, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, FKUI, serta Staf Fungsional Intervensi Invasif dan Nonbedah di Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita. Beliau tertarik untuk mendalami terapi intervensi karena pada waktu itu merasa bagian ini masih kurang greget. Terapi intervensi diindikasikan untuk kasus aritmia, penyakit jantung bawaan, kelainan katup jantung, dan penyakit jantung koroner. “Jika di masa lalu untuk beberapa kasus kardiovaskular seperti pemasangan pacemaker harus dilakukan oleh 2 orang spesialis yaitu kardiolog dan ahli bedah toraks vaskular, maka sekarang ini dapat dilakukan oleh seorang kardiolog saja,” tegas suami dari Futikah Munawar ini. Beliaulah kardiolog Indonesia pertama yang melakukan independent operator untuk pemasangan pacemaker jantung.

Ketika disinggung mengenai skrining jantung koroner yang merupakan kasus terbesar di bagian kardiovaskular, beliau mengatakan bahwa masalah itu harus dilihat secara integral, meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik, termasuk faktor risiko yang ada. Selama ini, banyak keluhan masyarakat yang meragukan hasil pemeriksaan dokter. Karena itu, beliau menyarankan agar hal-hal yang sederhana pun harus diinformasikan kepada pasien. Selain itu, “Seorang dokter harus mudah dihubungi oleh pasiennya, bahkan pada malam hari,” tegas dokter yang selalu memberikan nomor telepon genggamnya kepada pasien. Beruntung beliau memiliki seorang istri yang selalu mengingatkan agar beliau menjawab telepon dari pasiennya. Dengan demikian, tidak terjadi miskomunikasi antara dokter dengan pasien, yang sering menjadi isu profesi kedokteran di Indonesia.

Keteguhannya dalam merawat secara total pada pasien jantung diterapkannya saat mendirikan Binawaluya Cardiac Centre. Rumah sakit khusus jantung yang didirikannya sejak 2004 ini memang hanya khusus menangani kasus penyakit jantung. “Kami tidak akan merawat kasus nonjantung. Lebih baik rumah sakit ini kosong daripada harus menangani kasus di luar jantung,” tegas beliau.

Pada pasien yang telah menjalani intervensi dengan pemasangan stent, tidak tertutup kemungkinan mengalami penyempitan kembali di tempat stent tersebut. “Keadaan inilah yang dikenal dengan istilah in stent restenosis,” imbuh Munawar. Sementara itu, stent yang dipergunakan selama ini mengandung polimer yang berpotensi menginduksi trombosis (late stent thrombosis). Di sisi lain, ketidakdisiplinan pasien pasca-pemasangan stent dalam melanjutkan pengobatan dual antiplatelet juga memberikan kontribusi terhadap kejadian stent thrombosis. Modalitas intervensi terkini menggunakan teknik stent tanpa dilapisi polimer, melainkan dengan suatu matriks yang bersifat bioabsorbel. Teknik yang dikenal dengan istilah Drug Eluting Balloon (DEB) akan menempelkan paclitaxel di permukaan matriks sehingga ketika masuk ke dalam pembuluh darah obat ini akan diserap dengan cepat. Keunggulan modalitas ini adalah mempersingkat masa terapi dual antiplatelet. Modalitas terkini ini juga telah melalui beberapa penelitian klinis.

Di akhir perbincangan, tidak lupa beliau memberikan wejangan dalam mendalami intervensi kardiologi, yaitu: “Banyak menangani kasus, banyak membaca, banyak melakukan, dan banyak berhubungan dengan rekan sejawat di luar negeri, penting untuk mengasah keterampilan di bidang kardiologi intervensi,” tegas bapak dari 3 orang anak ini. Semoga kita bisa meneladani beliau. (Tiara)
http://jurnalmedika.com/tarif-iklan/39-dr-muhamad-munawar-spjp-phd

Leave a comment